Beredarnya berita palsu atau yang disebut hoax telah menjadi
salah satu persoalan serius akhir-akhir ini. Presiden Joko Widodo juga sudah
menyatakan keresahannya di depan publik pada akhir tahun kemarin, khususnya
tentang perlunya evaluasi media sosial. Maraknya peredaran berbagai berita
palsu ini ditunjang oleh perkembangan teknologi lewat media sosial yang populer
seperti Facebook, Whatsapp, Twitter, dll. Bermacam berita, baik tentang
keagamaan, ekonomi, atau politik di–share/dibagikan atau diteruskan oleh para
pengguna media sosial (biasanya disebut “netizen”). Berita menyebar tanpa
keterbatasan jarak dan waktu lagi. Gambar dan video bisa disunting seperti
asli. Massa bisa digerakan dengan mudah melalui media sosial, bukan saja dalam
negeri, tetapi juga dunia internasional.
Hoax bukan hal baru
Berita palsu, cerita yang diada-adakan, bukanlah hal baru.
Bukan hanya muncul di zaman internet sekarang ini, realitas ini telah terjadi
setua jatuhnya dunia ke dalam dosa. Kisah Adam dan Hawa yang digoda oleh Iblis
menunjukan kecenderungan manusia berdosa untuk memilih memercayai apa yang ia
percayai baik bagi dirinya, meskipun bertentangan dengan perintah firman Tuhan.
Dalam Alkitab, kita dapat menemukan catatan tentang nabi-nabi palsu, nubuat
palsu, ajaran-ajaran palsu. Di masa Perjanjian Lama, di antaranya ada kisah
nabi Hananya yang menentang nabi Yeremia yang menyampaikan nubuat pembuangan ke
Babel. Nubuatan palsu nabi Hananya tentunya memberi harapan palsu, membuat umat
gagal memahami kehendak Allah (Yer. 28:1-17).
Di masa Perjanjian Baru, segera sesudah kebangkitan Yesus,
para Imam-imam kepala berunding dengan tua-tua memutuskan memberi sejumlah
besar uang kepada serdadu-serdadu untuk menyebarkan berita bohong bahwa mayat
Yesus dicuri untuk meredam berita kebangkitan Yesus. Matius mencatat: “mereka
menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka. Dan cerita
ini tersiar di antara orang Yahudi sampai sekarang” (Mat. 28:15). Namun
meskipun kebohongan itu tersebar, berita kebangkitan Yesus tetap tersiar
melalui perantaraan para murid. Markus mencatat berita itu sebagai berita yang
kudus dan tak terbinasakan yang diberitakan dari timur ke barat (lih. Mark.
16:8).
Bahaya hoax
Di masa akhir hidupnya, rasul Paulus memperingatkan Timotius
tentang keadaan manusia pada akhir zaman, yang disebutnya memalingkan telinga
dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng (II Tim. 4:4). Timotius
diperingatkan tentang karakteristik pendengar dan pengajar palsu di zamannya
yang sama-sama menolak kebenaran. Apa yang tidak bersumber dari kebenaran akan
selalu relevan di dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, itu sebabnya pengajaran
palsu akan menjalar seperti penyakit kanker. Rasul Paulus menyebutkan pengajar
palsu yang populer itu, di antaranya Himeneus dan Filetus, yang mengajarkan
kebangkitan yang menyimpang dan merusak iman jemaat (II Tim. 2: 17-18). Berbeda
dengan mereka, Timotius harus menjadi pekerja yang tidak usah malu yang
berterus-terang memberitakan perkataan kebenaran itu, menghindari omongan yang
kosong dan tak suci yang hanya menambah kefasikan (II Tim 2: 15-16).
Mengenai penderitaan karena dibuat dan disebarkannya tuduhan
palsu, Gereja Tuhan sudah pernah mengalaminya. Penganiayaan fisik, seperti
dikejar, disalibkan, dicabik-cabik singa, atau dibakar karena tuduhan sebagai
dalang kebakaran kota Roma pada tahun 64 M. Meskipun demikian, darah para
martir ini telah menjadi benih yang tidak mati dari iman Kristen. Gereja Tuhan
tidak akan sepi dari perlawanan dunia yang menolak Tuhan, karena sejarah gereja
menunjukkan penderitaan seperti itu sering dipakai Tuhan untuk pertumbuhan iman
jemaat.
Namun demikian, ancaman yang berbahaya bukan hanya sebatas
penganiayaan dan penderitaan fisik. Yang tidak kalah berbahaya adalah
penganiayaan nonfisik berupa hoax, yaitu menjalarnya ajaran palsu yang
meruntuhkan iman jemaat. Sejarah gereja mencatat beberapa kali diadakannya
Konsili atau pertemuan pemimpin gereja terutama membahas soal ajaran dan
penyimpangannya. Ini menunjukan kerentanan gereja pada penyimpangan ajaran. Di
masa para rasul pun sudah ada pertemuan di Yerusalem untuk membahas apa yang
sudah diajarkan rasul Paulus kepada orang Kristen nonYahudi untuk menghindari
berlanjutnya kesalahpahaman yang memecah belah orang percaya (Kis. 15:1-21).
Hikmat mengatasi hoax
Bunda Teresa pernah berpesan, “Perkataan yang tidak
diterangi oleh firman Tuhan hanya akan menambah kegelapan dunia.” Sebuah
peringatan tentang pentingnya hidup dipimpin oleh firman Tuhan sebagai hikmat
hidup untuk dapat mengenali ajaran sesat ataupun apa yang disebut rasul Paulus
sebagai omongan tak suci yang hanya menambah kefasikan. Kita sendiri sebagai
manusia berdosa akan gagal memahami apa yang benar menurut hikmat Tuhan. Kita
perlu menyadari, bahwa kata-kata dapat menyebar bahkan dalam kesunyian, dan
sekalipun dapat menjadi alat yang bermanfaat untuk membangun, kata-kata juga
dapat menjadi alat yang berbahaya.
Kebenaran harus selalu menjadi concern orang percaya, karena
di dalam kebenaran, di situlah terdapat damai sejahtera. Jangan sampai kita berkontribusi
pada semakin pekaknya dunia terhadap hal-hal yang benar. Berita palsu dan
pengajaran palsu memiliki daya perusak yang aktif dalam gereja, dalam komunitas
pelayanan kita, dan dalam masyarakat. Sebagai netizen, kita perlu ingat, bahwa
tetap ada keterbatasan dari media sosial sebagai media informasi dan
komunikasi. Karena itu, kita perlu bijaksana untuk menyimak dan menyikapi
banyak hal di gadget kita masing-masing, supaya kita tidak berkontribusi pada
menyebarnya berita palsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar