Kamis, 30 Juni 2016

Lika-liku Vaksin Palsu dan Dampaknya Bagi Kesehatan Anak


Penggeledahan yang dilakukan penyidik berhasil mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis B, 221 botol vaksin polio, dan 55 vaksin antisnake.

Pekerja kesehatan memvaksinasi seorang anak Indonesia pada akhir Februari 2007, di Jakarta. Vaksin itu merupakan bagian dari kampanye melawan campak. Menurut data, campak membunuh 30.000 anak di Indonesia per tahunnya. | Dimas Ardian/Getty Images (Foto: Thinkstock)

Vaksin merupakan bahan antigenik yang sangat bermanfaaat memperkuat sistem imun terhadap suatu penyakit. Baik untuk orang dewasa atau lebih seringnya ditujukan pada anak-anak. Namun, bagaimana jika ternyata vaksin yang anak-anak terima adalah vaksin palsu? mengingat penyidik dari Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri berhasil membongkar sindikat pemalsu vaksin untuk balita.
Penggeledahan yang dilakukan penyidik berhasil mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin antisnake, dan sejumlah dokumen penjualan vaksin.

Sudah lama beredar
"Dari pengakuan para pelaku, vaksin palsu sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Sejak kapannya, yaitu sejak 2003," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (23/6/2016).
Sampai saat ini, penyidik baru menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah, yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
Berdasarkan penggeledahan dan pemeriksaan oleh kepolisian, para pelaku menggunakan cairan antitetanus dicampur dengan cairan infus sebagai bahan dasar vaksin palsu tersebut.
"Zat dasarnya dua itu. Cairan infus dan antitetanus. Dia campur, lalu dimasukkan ke dalam botol bekas. Untuk seperti sempurna, ada alat pengemasan dan diberikan label palsu juga. Setelah itu, baru didistribusikan," ujar Agung.
Vaksin ternyata juga tidak dibuat di laboratorium yang higienis, melainkan di sebuah gudang yang diubah menjadi tempat peracikan vaksin.

Dampak anak yang mendapat vaksin palsu
Penyelidikan ini dimulai berdasarkan banyaknya laporan anak yang mengalami gangguan kondisi kesehatannya setelah diberikan imunisasi atau vaksin di beberapa puskesmas daerah. Penyelidik pun mulai menganalisis hal ini.
Terlepas dari kasus kriminal yang dilakukan sindikat. Apa sebenarnya dampak vaksin palsu ini bagi anak ? Vaksinolog dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc-VPCD mengungkapkan, risiko terberat adalah anak akan terkena infeksi. Pembuatan vaksin palsu yang tidak steril dan tidak mengikuti prosedur seperti pembuatan vaksin asli tentu akan menimbulkan banyak kuman dan menyebabkan infeksi.
Gejala infeksi tersebut antara lain demam tinggi disertai laju nadi cepat, sesak napas, dan anak sulit makan. Jika anak hanya demam saja setelah divaksin, orangtua tak perlu khawatir, karena beberapa vaksin memang bisa membuat anak demam.
Menurut Dirga, jika terakhir kali vaksinasi pada dua minggu lalu dan tidak muncul gejala tersebut, kemungkinan besar anak tidak terkena infeksi.

Orang tua mesti vaksin anak ulang
Menanggapi hal ini, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan bahwa anak yang mendapat vaksin palsu seharusnya kembali diimunisasi. Sebab, mereka yang mendapat vaksin palsu tentu tidak mendapat manfaat kebal terhadap suatu penyakit.
"Harus divaksin ulang. Kalau ini isinya hanya cairan, tentu tidak berfungsi sama sekali. Jadi, kita berikan ulang pada mereka," kata Nila dalam jumpa pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (24/6/2016).
Hasil penyelidikan sementara, vaksin palsu berisi cairan dan antibiotik yang kadarnya sangat sedikit. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Aman Pulungan, SpA mengungkapkan, kerugian terbesar jika mendapat vaksin palsu adalah tidak kebal.
Mewaspadai Peredaran Vaksin Palsu

Media massa sedang ramai memberitakan tentang terbongkarnya praktik pembuatan vaksin palsu atau ilegal oleh Bareskrim Mabes POLRI. Ada 5 orang yang berhasil diamankan dari penggerebekan di pabrik vaksin palsu di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, tersebut. Dari para tersangka yang sudah dibekuk, penyelidikan masih dikembangkan untuk mencari tahu, ke mana saja vaksin palsu tersebut sudah didistribusikan. Sementara ini, barang bukti berupa vaksin Polio, BCG, hepatitis, dan lain-lain sudah diamankan oleh pihak berwenang.

Membaca berita itu, sebagai orang tua, Anda tentu merasa was-was dan resah. Apa bahayanya, jika sampai anak-anak mendapatkan vaksin palsu? Untuk itu, Parenting Indonesia menghubungi DR. dr. Nita Ratna Dewanti, SpA, dokter spesialis kesehatan anak dari  RS Premiere Bintaro, Tangerang, untuk mendapatkan penjelasan. Jangan sampai, karena kasus tersebut, orang tua jadi enggan membawa anak-anak divaksinasi (Baca juga beberapa hal tentang pemberian vaksin yang perlu Anda perhatikan).

Apa bahayanya?
Menurut dr. Nita, sebenarnya bahaya dari vaksin palsu sendiri sangat relatif. “Tergantung efek dari bahan yang dimasukkan ke botol ampul vaksinnya, ya. Kalau hanya cairan saja, masih tidak berbahaya, walaupun tidak akan ada efek vaksinnya. Tetapi kalau ada bahan berbahaya lain yang dimasukkan, maka anak bisa mengalami gejala atau gangguan kesehatan, sesuai efek bahan yang digunakan,” ujarnya.

Bagaimana mengantisipasinya?
Masih menurut dr. Nita, sebenarnya setiap rumah sakit besar terstandar atau terakreditasi sudah memiliki standar pembelian vaksin dari distributor resmi. Selain itu, sebelum sampai di tangan dokter spesialis anak, vaksin biasanya sudah diperiksa tanggal kedaluwarsa, nomor registrasi, kelayakan isi, dan kemasan vaksin, oleh instalasi farmasi rumah sakit. Farmakolog umumnya memiliki keahlian untuk mengetahui ciri fisik vaksin yang baik digunakan. “Jadi, sebenarnya vaksin yang diberikan cukup bisa dipertanggungjawabkan oleh tenaga kesehatan,” ujar dr. Nita. Namun demikian, hal yang sama belum tentu dapat diberlakukan di klinik kecil atau praktik pribadi, yang memiliki keterbatasan tenaga kerja.

Yang perlu diwaspadai orang tua?
Nah, jika terjadi gejala mencurigakan setelah anak mendapat vaksin (atau umum disebut kejadian ikutan pasca imunisasi/KIPI), seperti demam tinggi, lemas, kejang, lumpuh, atau demam lebih dari 3 hari, segera bawa anak kembali ke dokter. “Jika kesulitan mencapai tempat praktik dokter yang telah memberi vaksin, bisa juga ke dokter anak lain, tetapi dengan menceritakan detail kejadian sebelum, saat, dan sesudah vaksinasi,” ujar dr. Nita lagi. Setelah dipastikan gejala merupakan KIPI, dokter akan mengisi formulir khusus KIPI, yang akan ditindaklanjuti oleh Departemen Kesehatan. Selama penyelidikan dilakukan, anak mendapatkan perawatan memadai untuk mengatasi gejala yang dirasakan.


Sumber: http://nationalgeographic.co.id/
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar