Penggeledahan yang
dilakukan penyidik berhasil mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis
B, 221 botol vaksin polio, dan 55 vaksin antisnake.
Pekerja kesehatan
memvaksinasi seorang anak Indonesia pada akhir Februari 2007, di Jakarta.
Vaksin itu merupakan bagian dari kampanye melawan campak. Menurut data, campak
membunuh 30.000 anak di Indonesia per tahunnya. | Dimas Ardian/Getty Images (Foto:
Thinkstock)
Vaksin
merupakan bahan antigenik yang sangat bermanfaaat memperkuat sistem imun
terhadap suatu penyakit. Baik untuk orang dewasa atau lebih seringnya ditujukan
pada anak-anak. Namun, bagaimana jika ternyata vaksin yang anak-anak terima
adalah vaksin palsu? mengingat penyidik dari Subdirektorat Industri dan
Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri berhasil
membongkar sindikat pemalsu vaksin untuk balita.
Penggeledahan
yang dilakukan penyidik berhasil mengamankan barang bukti, yakni 195 saset
hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin antisnake, dan sejumlah dokumen
penjualan vaksin.
Sudah
lama beredar
"Dari
pengakuan para pelaku, vaksin palsu sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Sejak
kapannya, yaitu sejak 2003," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus
Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta, Kamis
(23/6/2016).
Sampai
saat ini, penyidik baru menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah,
yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
Berdasarkan
penggeledahan dan pemeriksaan oleh kepolisian, para pelaku menggunakan cairan
antitetanus dicampur dengan cairan infus sebagai bahan dasar vaksin palsu
tersebut.
"Zat
dasarnya dua itu. Cairan infus dan antitetanus. Dia campur, lalu dimasukkan ke
dalam botol bekas. Untuk seperti sempurna, ada alat pengemasan dan diberikan
label palsu juga. Setelah itu, baru didistribusikan," ujar Agung.
Vaksin
ternyata juga tidak dibuat di laboratorium yang higienis, melainkan di sebuah
gudang yang diubah menjadi tempat peracikan vaksin.
Dampak
anak yang mendapat vaksin palsu
Penyelidikan
ini dimulai berdasarkan banyaknya laporan anak yang mengalami gangguan kondisi
kesehatannya setelah diberikan imunisasi atau vaksin di beberapa puskesmas
daerah. Penyelidik pun mulai menganalisis hal ini.
Terlepas
dari kasus kriminal yang dilakukan sindikat. Apa sebenarnya dampak vaksin palsu
ini bagi anak ? Vaksinolog dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc-VPCD mengungkapkan,
risiko terberat adalah anak akan terkena infeksi. Pembuatan vaksin palsu yang
tidak steril dan tidak mengikuti prosedur seperti pembuatan vaksin asli tentu
akan menimbulkan banyak kuman dan menyebabkan infeksi.
Gejala
infeksi tersebut antara lain demam tinggi disertai laju nadi cepat, sesak
napas, dan anak sulit makan. Jika anak hanya demam saja setelah divaksin, orangtua
tak perlu khawatir, karena beberapa vaksin memang bisa membuat anak demam.
Menurut
Dirga, jika terakhir kali vaksinasi pada dua minggu lalu dan tidak muncul
gejala tersebut, kemungkinan besar anak tidak terkena infeksi.
Orang
tua mesti vaksin anak ulang
Menanggapi
hal ini, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan bahwa anak yang mendapat
vaksin palsu seharusnya kembali diimunisasi. Sebab, mereka yang mendapat vaksin
palsu tentu tidak mendapat manfaat kebal terhadap suatu penyakit.
"Harus
divaksin ulang. Kalau ini isinya hanya cairan, tentu tidak berfungsi sama
sekali. Jadi, kita berikan ulang pada mereka," kata Nila dalam jumpa pers
di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (24/6/2016).
Hasil
penyelidikan sementara, vaksin palsu berisi cairan dan antibiotik yang kadarnya
sangat sedikit. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Aman Pulungan, SpA
mengungkapkan, kerugian terbesar jika mendapat vaksin palsu adalah tidak kebal.
Mewaspadai Peredaran Vaksin Palsu
Media massa sedang ramai memberitakan tentang terbongkarnya praktik pembuatan vaksin palsu atau ilegal oleh Bareskrim Mabes POLRI. Ada 5 orang yang berhasil diamankan dari penggerebekan di pabrik vaksin palsu di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, tersebut. Dari para tersangka yang sudah dibekuk, penyelidikan masih dikembangkan untuk mencari tahu, ke mana saja vaksin palsu tersebut sudah didistribusikan. Sementara ini, barang bukti berupa vaksin Polio, BCG, hepatitis, dan lain-lain sudah diamankan oleh pihak berwenang.
Membaca berita itu, sebagai orang tua, Anda tentu merasa was-was dan resah. Apa bahayanya, jika sampai anak-anak mendapatkan vaksin palsu? Untuk itu, Parenting Indonesia menghubungi DR. dr. Nita Ratna Dewanti, SpA, dokter spesialis kesehatan anak dari RS Premiere Bintaro, Tangerang, untuk mendapatkan penjelasan. Jangan sampai, karena kasus tersebut, orang tua jadi enggan membawa anak-anak divaksinasi (Baca juga beberapa hal tentang pemberian vaksin yang perlu Anda perhatikan).
Apa bahayanya?
Menurut dr. Nita, sebenarnya bahaya dari vaksin palsu sendiri sangat relatif. “Tergantung efek dari bahan yang dimasukkan ke botol ampul vaksinnya, ya. Kalau hanya cairan saja, masih tidak berbahaya, walaupun tidak akan ada efek vaksinnya. Tetapi kalau ada bahan berbahaya lain yang dimasukkan, maka anak bisa mengalami gejala atau gangguan kesehatan, sesuai efek bahan yang digunakan,” ujarnya.
Bagaimana mengantisipasinya?
Masih menurut dr. Nita, sebenarnya setiap rumah sakit besar terstandar atau terakreditasi sudah memiliki standar pembelian vaksin dari distributor resmi. Selain itu, sebelum sampai di tangan dokter spesialis anak, vaksin biasanya sudah diperiksa tanggal kedaluwarsa, nomor registrasi, kelayakan isi, dan kemasan vaksin, oleh instalasi farmasi rumah sakit. Farmakolog umumnya memiliki keahlian untuk mengetahui ciri fisik vaksin yang baik digunakan. “Jadi, sebenarnya vaksin yang diberikan cukup bisa dipertanggungjawabkan oleh tenaga kesehatan,” ujar dr. Nita. Namun demikian, hal yang sama belum tentu dapat diberlakukan di klinik kecil atau praktik pribadi, yang memiliki keterbatasan tenaga kerja.
Yang perlu diwaspadai orang tua?
Nah, jika terjadi gejala mencurigakan setelah anak mendapat vaksin (atau umum disebut kejadian ikutan pasca imunisasi/KIPI), seperti demam tinggi, lemas, kejang, lumpuh, atau demam lebih dari 3 hari, segera bawa anak kembali ke dokter. “Jika kesulitan mencapai tempat praktik dokter yang telah memberi vaksin, bisa juga ke dokter anak lain, tetapi dengan menceritakan detail kejadian sebelum, saat, dan sesudah vaksinasi,” ujar dr. Nita lagi. Setelah dipastikan gejala merupakan KIPI, dokter akan mengisi formulir khusus KIPI, yang akan ditindaklanjuti oleh Departemen Kesehatan. Selama penyelidikan dilakukan, anak mendapatkan perawatan memadai untuk mengatasi gejala yang dirasakan.
Media massa sedang ramai memberitakan tentang terbongkarnya praktik pembuatan vaksin palsu atau ilegal oleh Bareskrim Mabes POLRI. Ada 5 orang yang berhasil diamankan dari penggerebekan di pabrik vaksin palsu di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, tersebut. Dari para tersangka yang sudah dibekuk, penyelidikan masih dikembangkan untuk mencari tahu, ke mana saja vaksin palsu tersebut sudah didistribusikan. Sementara ini, barang bukti berupa vaksin Polio, BCG, hepatitis, dan lain-lain sudah diamankan oleh pihak berwenang.
Membaca berita itu, sebagai orang tua, Anda tentu merasa was-was dan resah. Apa bahayanya, jika sampai anak-anak mendapatkan vaksin palsu? Untuk itu, Parenting Indonesia menghubungi DR. dr. Nita Ratna Dewanti, SpA, dokter spesialis kesehatan anak dari RS Premiere Bintaro, Tangerang, untuk mendapatkan penjelasan. Jangan sampai, karena kasus tersebut, orang tua jadi enggan membawa anak-anak divaksinasi (Baca juga beberapa hal tentang pemberian vaksin yang perlu Anda perhatikan).
Apa bahayanya?
Menurut dr. Nita, sebenarnya bahaya dari vaksin palsu sendiri sangat relatif. “Tergantung efek dari bahan yang dimasukkan ke botol ampul vaksinnya, ya. Kalau hanya cairan saja, masih tidak berbahaya, walaupun tidak akan ada efek vaksinnya. Tetapi kalau ada bahan berbahaya lain yang dimasukkan, maka anak bisa mengalami gejala atau gangguan kesehatan, sesuai efek bahan yang digunakan,” ujarnya.
Bagaimana mengantisipasinya?
Masih menurut dr. Nita, sebenarnya setiap rumah sakit besar terstandar atau terakreditasi sudah memiliki standar pembelian vaksin dari distributor resmi. Selain itu, sebelum sampai di tangan dokter spesialis anak, vaksin biasanya sudah diperiksa tanggal kedaluwarsa, nomor registrasi, kelayakan isi, dan kemasan vaksin, oleh instalasi farmasi rumah sakit. Farmakolog umumnya memiliki keahlian untuk mengetahui ciri fisik vaksin yang baik digunakan. “Jadi, sebenarnya vaksin yang diberikan cukup bisa dipertanggungjawabkan oleh tenaga kesehatan,” ujar dr. Nita. Namun demikian, hal yang sama belum tentu dapat diberlakukan di klinik kecil atau praktik pribadi, yang memiliki keterbatasan tenaga kerja.
Yang perlu diwaspadai orang tua?
Nah, jika terjadi gejala mencurigakan setelah anak mendapat vaksin (atau umum disebut kejadian ikutan pasca imunisasi/KIPI), seperti demam tinggi, lemas, kejang, lumpuh, atau demam lebih dari 3 hari, segera bawa anak kembali ke dokter. “Jika kesulitan mencapai tempat praktik dokter yang telah memberi vaksin, bisa juga ke dokter anak lain, tetapi dengan menceritakan detail kejadian sebelum, saat, dan sesudah vaksinasi,” ujar dr. Nita lagi. Setelah dipastikan gejala merupakan KIPI, dokter akan mengisi formulir khusus KIPI, yang akan ditindaklanjuti oleh Departemen Kesehatan. Selama penyelidikan dilakukan, anak mendapatkan perawatan memadai untuk mengatasi gejala yang dirasakan.
Sumber: http://nationalgeographic.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar